expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

WELCOME

Terima Kasih Telah mengunjungi Blog Saya...
Semoga Bermanfaat... :-)

Add My Face book : Riesa Tirta Maladewi
Follow My Twitter : @RiesaTirta



Minggu, 16 Desember 2012

Cerpen : Pilihan Hidup atau Mati


       Karya : Riesa Tirta Maladewi


       Andai saja aku bisa memilih dari keluarga mana aku akan dilahirkan dan dibesarkan, mungkin aku tak akan memilih terlahir di dalam keluarga ini. Keluarga miskin yang makan saja hampir sekali dalam sehari. Sungguh membuatku tersiksa. Belum lagi pekerjaan ayah sebagai kuli bangunan dan Ibu sebagai PSK (baca: Penjual Sayur Keliling) membuatku enggan dan malu mengakui mereka sebagai orangtua-ku. Pernah suatu kali, ketika ibu lewat di depan sekolahku lengkap dengan gerobak yang berisi sayur-sayur dagangannya, aku pura-pura tidak melihat dan tak jarang aku pura-pura tidak mengenalinya semata-mata menjaga harga diriku di hadapan teman-teman sekolahku. Aku takut mereka mencemoohkanku, hanya karena kemiskinan yang orang tuaku tularkan kepadaku. Ah, membayangkannya saja membuatku ingin menangis.



Tak peduli di cap anak durhaka atau tidak, yang jelas aku malu mengakuinya sebagai ibuku dan aku sangat menyesal terlahir dari rahim seorang wanita miskin yang bahkan jarang memberiku uang jajan sebagaimana layaknya para orang tua memberikan uang jajan kepada anaknya. Mereka, teman-temanku selalu diberi uang jajan oleh orangtua nya sebelum berangkat sekolah, bahkan uang jajannya dalam sehari pun mampu membeli sepatu baru yang biasanya harus ku beli setelah menabung setengah tahun lamanya. Sungguh memuakkan menerima kenyataan pahit ini. Menjadi seorang anak yang terlahir dari keluarga miskin membuat ku minder secara tidak langsung. Pernah suatu hari teman ku mengajak ku pergi berbelanja sepulang sekolah dan saat itu juga aku mendadak pura-pura sakit dan memilih pulang saja daripada harus ikut bareng mereka. Gilaaa… Aku belanja pake’ apa coba? Seribu perak pun bahkan aku tak punya. Ketika beberapa temanku mengeluhkan dompetnya menipis, aku malah tak punya dompet sama sekali. Jikalau pun aku punya dompet. Buat apa coba? Akan ku isi dengan apakah? Mungkin jika terpaksa, daun jambu di depan rumah lah jawabannya.


Mungkin aku memang terlahir sebagai Devi, si anak miskin yang kerjaannya ngeluh sepanjang hari. Mungkin jumlah keluhanku sudah menyamai jumlah korupsi yang ada di Indonesia. Hah? Sebegitu parahkah?. Bayangkan saja ketika anak orang lain di jemput menggunakan motor atau mobil mewah dan pulangnya langsung ditawari makan dengan berbagai macam menu yang sedap-sedap sehingga membuat si anak tercukupi gizinya . Sedangkan aku malah sebaliknya, pulang  jalan kaki sendirian ke rumah serba minimalis, berdinding papan milik orang tuaku yang jaraknya kurang lebih 300 meter dan tiba dirumah dalam keadaan sepi tak berpenghuni. Tak perlu mengucapkan salam pikirku, toh tak ada orang di rumah. Selepas melemparkan tas ke kasur reot ku, aku bergegas ke dapur, tak tahan karena cacing-cacing di perut sudah berdemo minta di isi. Ketika tudung saji dari anyaman bambu yang sudah bolong-bolong itu ku buka. Ajaib… tak ada makanan disana. Aku menganga lebar dengan mata yang nyaris hampir keluar dari habitatnya. Alhasil aku kelaparan total, berharap aku langsung mati saja detik itu juga. Berhubung cacing diperutku sudah saling tinju, saling tindih, bahkan saling memakan satu sama lain saking kelaparannya. Aku memutuskan mencari sesuatu di dapur yang bisa aku masak untuk aku makan. Entah karena Malaikat Israfil belum mau mencabut nyawaku atau memang karena Tuhan kasihan padaku, aku menemukan sebutir telur teronggok indah di dalam lemari kayu tempat Ibu biasanya menyimpan sayur-sayur dagangannya. Hari ini aku tak jadi mati, kehidupanku masih berlanjut, perjalananku menuju neraka dibatalkan dan nyawaku tertolong gumamku dalam hati.


Setelah makan dengan lahapnya, aku ketiduran dan baru bangun setelah adzan maghrib berkumandang. Aku melihat hape Nokia senter ku yang keypad nya sudah tak jelas seperti apa bentuknya. Ada SMS masuk dari teman sekelas ku Nadia yang mengajakku pergi. Tak jelas kemana dia akan mengajakku pergi karena memang dia tidak memberitahukannya lewat pesan singkat yang dia kirimkan. Yang jelas aku mengiyakan ajakannya karena memang merasa tak betah berlama-lama di “gubuk” yang sebenarnya lebih pantas di sebut kandang sapi ini. Aku menyuruhnya menjemputku setelah adzan isya’. Aku bergegas mandi dan mempersiapkan diriku untuk pergi. Assalamu’alaikum… Terdengar suara ibu dari luar. Aku membuka pintu dan melihat ibu tengah membereskan sisa sayur dagangannya untuk di bawa masuk kedalam rumah. “Bisa bantu ibu mengangkat plastik itu, nak”? pinta ibuku dengan suara lelah seraya menujuk plastik hitam berisi beberapa kol dan timun. Aku pura-pura tidak mendengar dan bergegas masuk ke kamar untuk menyelesaikan dandananku. Malas banget pikirku, biar Ibu tau rasa siapa suruh meninggalkan rumah dan membiarkanku kelaparan seorang diri tanpa makanan yang membuatku nyaris mati konyol. Tak lama kemudian aku mendengar suara ayah, aku mengintip dari balik gorden kamarku, terlihat ayah sedang membantu ibu. Aku tak memperdulikan mereka dan kembali berdandan, mempercantik diri agar tak kelihatan muka miskinnya. Drrtt… hape ku bergetar dan kulihat sms masuk dari nadia. “keluarlah, aku di depan rumahmu, ayok kita pergi”. Aku bergegas keluar kamar dan mencari Ibu untuk meminta uang. Namun bukannya lekas dikasih uang, Ibu malah menanyai dan menceramahi ku panjang kali lebar kali tinggi yang intinya melarangku untuk pergi. Pusing mendengarkan ocehan ibu yang tak kunjung memberiku uang, aku pun meninggalkannya begitu saja dan pergi keluar rumah tanpa uang sepeserpun dan tanpa salam tentunya.


Aku mendatangi Nadia yang tengah menungguku didalam mobil jazz putihnya. Dia kelihatan cantik dengan menggunakan gaun malam sepadan dengan warna mobil nya. Aku kenal Nadia tak begitu lama walaupun kami sudah sekelas selama 2 tahun. Kami mulai akrab semenjak Nadia tahu kemiskinan yang setiap harinya menyita sebagian besar ketentraman hatiku. Setahu ku Nadia dulunya tak sekaya ini. Aku tak melanjutkan berpikir telalu jauh tentang Nadia karna bisa mempunyai teman kaya dan tidak sombong seperti Nadia saja aku sudah sangat bersyukur. Barangkali saja kekayaannya bisa menular kepadaku. Aku menahan senyum kecut, sadar bahwa itu cuma mimpi dan angan-angan seorang anak orang miskin yang mustahil terjadi. Mobil melaju kencang melewati Pantai Panjang, pantai yang cukup terkenal di kota kelahiranku, Bengkulu, Pantai nan indah lengkap dengan pemandangan yang selalu di elu-elukan masyarakat Bengkulu pada umumnya. Wah… rame sekali pantai malam ini. Wajar saja, aku lupa bahwasanya malam ini adalah malam minggu dan sudah sangat biasa jika setiap malam minggu pantai selalu penuh dengan pemuda-pemudi yang sekedar berkonvoi ria, pacaran sambil menikmati keindahan suasana pantai di malam hari atau sekedar refreshing melepas penat setelah seharian beraktivitas. “kita mau kemana nad”? tanyaku sedikit berteriak tak mau kalah suara dengan radio tape mobil nadia yang tengah memutar lagu California milik Katy Perry dengan volume yang nyaris membuat gendang telinga ku serasa mau pecah. Kita mau ketemu seseorang yang bisa membuat kamu kaya dalam hitungan menit”. Jawab Nadia sambil tersenyum ke arahku. “Oh yaa”? Reaksi ku dengan mata sedikit membesar seakan tak percaya dengan apa yang aku dengar barusan. “iya dong” jawab nadia singkat seraya membelokkan mobilnya ke sebuah café yang cukup terkenal di kawasan Pantai Panjang.


Mobil Nadia berhenti di depan café Pelangi, café yang cukup besar dan dihiasi lampu kerlap-kerlip di setiap sudut bangunannya. Aku turun dari mobil dan terperangah memasang tampang bego’ sekaligus bertanya-tanya dalam hati mengapa Nadia memberhentikan mobilnya di tempat yang sebelumnya belum pernah ku datangi ini. Tempat yang bahkan tak layak seorang gadis SMA datangi pada malam hari meski umur kami sudah 18 tahun. “Orang yang akan kita temui ada di dalam, beliau sudah menunggu kedatangan kita”  celoteh nadia sembari menunjuk pintu masuk yang dijaga oleh dua orang doormen berpakaian hitam, berkacamata hitam dan berbadan besar. 


Tanpa bertanya, si doormen mempersilahkan kami masuk walau tanpa senyum sedikitpun. Serem amet si doormen ini pikirku. Apakah mereka mendekati cewek yang mereka cintai dengan tampang seseram ini. Sudah pasti si cewek langsung kabur. Karena muka seramnya si doormen persis raksasa dalam cerita anak Timun Emas. Aku mulai ngelantur dan terkekeh di dalam hati. Di dalam café, seorang pria kurus tinggi dan berkumis tipis utusan Om Bob, orang yang ingin kami temui menghampiri kami dan membawa kami ke sebuah ruangan tempat Om Bob menunggu. Kami pun memasuki sebuah ruangan yang tak begitu terang dan berbau asap rokok bercampur minuman keras. Sungguh membuat isi perutku mendadak hampir keluar. Terlihat seorang pria paruh baya berbadan sedikit gemuk dan berkemaja dengan 3 kancing teratas sengaja dibiarkannya tak terkancing, dia duduk di sofa berwarna merah maroon sambil menghisap sebatang rokok yang ukurannya tak seperti rokok yang biasanya aku lihat di warung-warung. 


Pria yang di sapa Om Bob tersebut mempersilahkan kami duduk sembari memberikan senyuman yang menurutnya manis tapi menurutku itu senyuman yang paling  menjijikkan yang pernah aku lihat. Entah mengapa aku seperti tidak menyukai sosok yang kata Nadia ini memiliki banyak uang. Singkat cerita, dia menawarkan kami uang banyak terkhusus untukku karna seperti yang aku lihat dari tadi matanya selalu saja terfokus kearahku. Persisnya di area sensitive yang tak sepantasnya di lihat oleh seorang pria selama itu.  Dia ingin kami bekerja kepadanya dan jika kami menerima tawarannya yang sukses membuat ku berkhayal menjadi jutawan maka dia akan memastikan bahwa setiap harinya kami akan memperoleh uang juta-an rupiah. Aku seperti ingin berjoged ala Gangnam Style Mendengar uang sebegitu banyaknya yang akan aku terima nantinya bila aku menerima tawaran dari Om Bob. That’s so WOW! Aku segera menghentikan fantasi berlebihanku. “kerja apa?” tanyaku penasaran. “Melacur”, jawabnya singkat seakan tanpa dosa. Aku shock mendengarnya. Sangat-sangat shock! Aku merasa terhempas ke dalam jurang yang di penuhi zombie-zombie kelaparan. Hatiku teriris, aku segera menyatakan keberatanku dan memaksa Nadia untuk pulang dan meninggalkan tempat maksiat itu. Ku lirik Nadia namun reaksi Nadia malah biasa saja. “Ikuti saja kata Om Bob, kamu sudah bosan hidup miskin kan?” ujar Nadia lancang dan membuatku berhasrat ingin merobek-robek mulutnya. Aku seakan tak percaya, teman macam apakah Nadia ini. Aku mulai mencurigai jangan-jangan Nadia sudah lama bekerja pada om Bob dan sengaja ikut menyeretku kedalam dunia hitam dan kelam ini. 


Oh, My God. Aku terjebak! Aku membuyarkan lamunanku dan bergegas menuju pintu keluar. Tapi tiba-tiba seseorang membekapkan sapu tangannya yang sudah di beri obat bius ke wajahku. Aku berusaha memberontak, berusaha melepaskan sesuatu yang melekat erat di wajahku dengan sekuat tenaga. Namun tetap saja aku kalah. Aku kehabisan energy. Tiba-tiba semua berubah menjadi hitam dan Gelap!

Aku membuka mata perlahan dan merasakan sakit yg tak tertahankan di rahang kananku. Aku mendapati diriku sudah berada di sebuah ruangan bercat biru dalam kondisi kaki dan tangan terikat. Aku panik! Aku berteriak sejadi-jadinya untuk meminta pertolongan. Tak ada jawaban, suasana tetap hening. Tak lama kemudian seseorang membuka pintu ruangan tempat ku terduduk tak berdaya seorang diri, Samar-samar kulihat sosok di depan pintu itu berjalan kearahku dan semakin jelas terlihat olehku bahwa itu merupakan sosok Nadia yang sekarang tepat berdiri di hadapanku dengan menggunakan baju yang begitu sexy yang membuatku ingin meludah tepat di wajahnya


“Nad, aku mau pulang. Aku gak mau disini, tolong aku.” Kataku memelas dan tanpa sadar aku menitikkan airmata yang kian lama kian deras. Devi. Devi. Bukannya kamu sendiri yang tempo hari mengatakan kepadaku bahwa kamu tidak betah tinggal di rumah kamu yang persis kandang sapi itu. Kamu juga kan yang bilang sudah bosan hidup miskin. Sekarang ini lah saatnya kesempatan kamu untuk mengubah takdir kamu dari orang miskin menjadi orang kaya dengan menerima penawaran dari Om Bob. Gampang kan? Kamu hanya perlu menjual wajah dan badan kamu maka ratusan uang mengalir dengan sendirinya.” Ceramah nadia dengan tawa yang mulai saat itu sangat ku benci. Meski hatiku terluka dengan perkataannya, aku tak menyerah begitu saja untuk terus membujuknya untuk melepaskanku pergi. Namun dia malah tertawa sejadi-jadinya dan membuat perasaanku begitu remuk dan hancur melebihi seseorang yang lagi putus cinta. Aku menangis histeris dan mengutuk perbuatannya dalam hati.


 “Sekarang kamu pilih bekerja dengan Om Bob dan hidup kaya raya atau mati konyol diruangan ini”?, Tanya nadia seraya memegang daguku cukup keras. Aku tetap bersikukuh menolak, aku lebih baik mati daripada harus menjadi pelacur. Aku lebih baik hidup miskin daripada menanggung dosa yang tidak ada habisnya. Tiba-tiba Aku teringat orang tuaku, aku merindukan mereka. Ibu, maafkan aku. Aku menyesal tak mendengarkan nasehatmu tadi. Ayah, maafkan anakmu yang sering mengeluh tentang kemiskinan keluarga kita. Aku ingin pulang ibu, aku ingin pulang ayah. Aku berbisik pada hati kecilku sambil menangis terisak. Tak lama kemudian, Nadia memelukku bertepatan dengan sebuah benda tajam menancap tepat di ulu hatiku. Darah mengalir deras, mataku terbelalak, samar-samar ku lihat Nadia mengambil kembali pisau yang dia tancapkan di ulu hatiku. 


Aku meregang nyawa, terbayang wajah lelah ayah dan Ibu, terbayang dosa-dosaku kepada mereka, terbayang tentang nikmat-nikmat Tuhan yang tak pernah aku syukuri, mengapa aku baru menyadari setelah hidupku tersisa tinggal beberapa detik lagi. Maafkan aku Ibu, Maafkan aku ayah, maafkan aku ya Allah. Aku berusaha untuk menyebut nama Allah di sisa nafas yang ku punya. Mulutku kaku, keringat mengucur deras, aku masih memegangi ulu hatiku yang sakit bukan kepalang untuk menahan darah agar tak keluar lebih banyak lagi. Tak ada lagi waktu untuk sekedar bertobat dan memperbaiki kesalahanku tempo hari. Aku berusaha mengingat syahadat dan berusaha melafalkannya. Namun aku merasa ada yang menahan lidahku untuk mengatakannya. Asy.. haa.. aku mencoba bersyahadat tapi kerongkonganku tersekat, aku kesulitan berbicara di ujung tanduk kematianku. Aku tak lantas menyerah bersama sisa sisa detik  kehidupan yang aku miliki. Aku mencoba melafalkan kembali kalimat syahadat diikuti airmata dan keringat yang bercampur di wajahku. Asy.. haduanlaa.. ilaa… haa ilallah aku berusaha melafalkannya meski dengan suara terbata-bata. Namun belum sempat kalimat syahadat aku ucapkan secara sempurna. Nyawaku habis, aku mulai melemas, Israfil telah datang memenuhi janji untuk menjemputku.

 Aku menutup mata dalam kesendirian, kesakitan dan rasa bersalahku.
Hidupku berakhir
bersama penyesalanku.  

4 komentar:

  1. doorguard atau gatekeeper ya sis?

    BalasHapus
    Balasan
    1. doormen sih kalo yg ada di cerpen ku.
      tapi terserah persepsi kamu aja deh, yang penting tau kan maksudnya.. :)

      Hapus
  2. Cewek seperti apa yg bisa ngarang seperti ini?
    Kamu berbakat, good job!

    BalasHapus