Karya : Riesa Tirta Maladewi
Andai saja aku bisa
memilih dari keluarga mana aku akan dilahirkan dan dibesarkan, mungkin aku tak
akan memilih terlahir di dalam keluarga ini. Keluarga miskin yang makan saja
hampir sekali dalam sehari. Sungguh membuatku tersiksa. Belum lagi pekerjaan
ayah sebagai kuli bangunan dan Ibu sebagai PSK (baca: Penjual Sayur Keliling)
membuatku enggan dan malu mengakui mereka sebagai orangtua-ku. Pernah suatu
kali, ketika ibu lewat di depan sekolahku lengkap dengan gerobak yang berisi sayur-sayur
dagangannya, aku pura-pura tidak melihat dan tak jarang aku pura-pura tidak
mengenalinya semata-mata menjaga harga diriku di hadapan teman-teman sekolahku.
Aku takut mereka mencemoohkanku, hanya karena kemiskinan yang orang tuaku
tularkan kepadaku. Ah, membayangkannya saja membuatku ingin menangis.
Tak peduli di cap anak durhaka atau tidak, yang jelas aku malu mengakuinya
sebagai ibuku dan aku sangat menyesal terlahir dari rahim seorang wanita miskin yang
bahkan jarang memberiku uang jajan sebagaimana layaknya para
orang tua memberikan uang jajan kepada anaknya. Mereka, teman-temanku selalu diberi uang jajan oleh
orangtua nya sebelum berangkat sekolah, bahkan uang jajannya dalam sehari pun mampu
membeli sepatu baru yang biasanya harus ku beli setelah menabung setengah tahun
lamanya. Sungguh memuakkan menerima kenyataan pahit ini. Menjadi seorang anak
yang terlahir dari keluarga miskin membuat ku minder secara tidak langsung.
Pernah suatu hari teman
ku mengajak ku pergi berbelanja sepulang sekolah dan saat itu juga aku mendadak
pura-pura sakit dan memilih pulang saja daripada harus
ikut bareng mereka. Gilaaa… Aku belanja pake’ apa coba? Seribu perak pun bahkan
aku tak punya. Ketika beberapa temanku mengeluhkan dompetnya menipis, aku
malah tak punya dompet sama sekali. Jikalau pun aku punya dompet. Buat apa
coba? Akan ku isi dengan apakah? Mungkin jika terpaksa, daun jambu di depan
rumah lah jawabannya.
Mungkin aku memang terlahir sebagai Devi, si anak miskin yang kerjaannya ngeluh sepanjang hari. Mungkin jumlah keluhanku sudah menyamai
jumlah korupsi yang ada di Indonesia. Hah? Sebegitu parahkah?. Bayangkan saja ketika anak orang lain di jemput
menggunakan motor atau mobil mewah dan pulangnya langsung ditawari makan dengan berbagai
macam menu yang sedap-sedap sehingga membuat si anak
tercukupi gizinya . Sedangkan
aku malah sebaliknya, pulang jalan kaki
sendirian ke rumah serba minimalis, berdinding papan milik orang tuaku yang jaraknya kurang
lebih 300 meter dan tiba dirumah dalam keadaan sepi tak berpenghuni. Tak perlu
mengucapkan salam pikirku, toh tak ada orang di rumah. Selepas melemparkan tas
ke kasur reot ku, aku bergegas ke dapur, tak tahan karena cacing-cacing di
perut sudah berdemo minta di isi. Ketika tudung saji dari anyaman
bambu yang sudah bolong-bolong itu ku buka. Ajaib…
tak ada makanan disana. Aku menganga lebar dengan mata yang nyaris
hampir keluar dari habitatnya. Alhasil
aku kelaparan total, berharap aku langsung mati saja detik itu juga. Berhubung
cacing diperutku sudah saling tinju, saling tindih, bahkan saling memakan satu
sama lain saking kelaparannya. Aku memutuskan mencari sesuatu di dapur yang bisa
aku masak untuk aku makan. Entah karena Malaikat Israfil belum mau mencabut
nyawaku atau memang karena Tuhan kasihan padaku, aku menemukan sebutir telur
teronggok indah di dalam lemari kayu tempat Ibu biasanya menyimpan sayur-sayur
dagangannya. Hari ini aku tak jadi mati, kehidupanku
masih berlanjut, perjalananku menuju neraka dibatalkan dan nyawaku tertolong gumamku dalam hati.
Setelah makan dengan lahapnya, aku ketiduran dan baru bangun setelah adzan
maghrib berkumandang. Aku melihat hape Nokia senter ku yang keypad nya sudah tak
jelas seperti apa bentuknya. Ada SMS masuk dari teman sekelas ku Nadia yang mengajakku pergi. Tak jelas kemana
dia akan mengajakku pergi karena memang dia tidak
memberitahukannya lewat pesan singkat yang dia kirimkan. Yang jelas aku mengiyakan ajakannya karena memang merasa
tak betah berlama-lama di “gubuk”
yang sebenarnya lebih pantas di sebut kandang sapi ini. Aku menyuruhnya menjemputku setelah adzan isya’.
Aku bergegas mandi dan mempersiapkan diriku untuk pergi. Assalamu’alaikum… Terdengar suara ibu dari luar. Aku membuka pintu dan
melihat ibu tengah membereskan sisa sayur dagangannya untuk di bawa masuk kedalam rumah. “Bisa
bantu ibu mengangkat plastik itu, nak”? pinta ibuku dengan suara lelah seraya
menujuk plastik hitam berisi beberapa kol dan timun. Aku pura-pura tidak
mendengar dan bergegas masuk ke kamar untuk menyelesaikan dandananku. Malas
banget pikirku, biar Ibu tau rasa siapa suruh meninggalkan rumah dan membiarkanku
kelaparan seorang diri tanpa makanan yang membuatku nyaris mati
konyol. Tak lama kemudian aku mendengar
suara ayah, aku mengintip dari balik gorden kamarku, terlihat ayah sedang
membantu ibu. Aku tak memperdulikan mereka dan kembali berdandan,
mempercantik diri agar tak kelihatan muka miskinnya. Drrtt… hape ku bergetar dan kulihat sms masuk dari
nadia. “keluarlah, aku di depan rumahmu, ayok kita pergi”. Aku bergegas keluar kamar
dan mencari Ibu untuk meminta uang. Namun bukannya lekas dikasih uang, Ibu
malah menanyai dan menceramahi ku panjang kali lebar kali
tinggi yang intinya melarangku untuk pergi. Pusing mendengarkan ocehan ibu yang tak kunjung memberiku
uang, aku pun meninggalkannya begitu saja dan pergi keluar rumah tanpa uang
sepeserpun dan tanpa salam tentunya.
Aku mendatangi Nadia yang tengah menungguku didalam
mobil jazz putihnya. Dia
kelihatan cantik dengan menggunakan gaun malam sepadan dengan warna mobil nya. Aku
kenal Nadia tak begitu lama walaupun kami sudah sekelas selama 2 tahun. Kami
mulai akrab semenjak Nadia tahu kemiskinan yang setiap harinya menyita sebagian
besar ketentraman hatiku. Setahu ku Nadia dulunya tak sekaya ini. Aku tak
melanjutkan berpikir telalu jauh tentang Nadia karna bisa mempunyai teman kaya
dan tidak sombong seperti Nadia saja aku sudah sangat bersyukur. Barangkali
saja kekayaannya bisa menular kepadaku. Aku menahan senyum kecut, sadar bahwa
itu cuma mimpi dan angan-angan seorang anak orang miskin yang mustahil terjadi.
Mobil melaju kencang melewati Pantai Panjang, pantai yang cukup
terkenal di kota kelahiranku, Bengkulu, Pantai
nan indah lengkap dengan pemandangan yang selalu di elu-elukan masyarakat
Bengkulu pada umumnya. Wah…
rame sekali pantai malam ini. Wajar saja, aku lupa bahwasanya malam ini adalah malam
minggu dan sudah sangat biasa jika setiap
malam minggu pantai selalu penuh dengan pemuda-pemudi yang sekedar berkonvoi ria,
pacaran sambil menikmati keindahan suasana pantai di malam hari
atau sekedar refreshing melepas penat setelah seharian beraktivitas. “kita mau kemana nad”? tanyaku sedikit berteriak tak
mau kalah suara dengan radio tape mobil nadia yang tengah memutar
lagu California milik Katy Perry dengan volume yang nyaris membuat gendang
telinga ku serasa mau pecah. “Kita mau ketemu seseorang yang bisa membuat kamu
kaya dalam hitungan menit”. Jawab Nadia sambil tersenyum ke arahku. “Oh yaa”? Reaksi ku dengan mata sedikit membesar seakan tak percaya dengan apa yang
aku dengar barusan. “iya dong” jawab nadia singkat
seraya membelokkan mobilnya ke sebuah café yang cukup terkenal di kawasan
Pantai Panjang.
Mobil Nadia berhenti di depan café Pelangi, café yang cukup
besar dan dihiasi lampu kerlap-kerlip di setiap sudut bangunannya. Aku turun dari mobil dan terperangah memasang tampang bego’
sekaligus bertanya-tanya dalam hati mengapa
Nadia memberhentikan mobilnya di tempat yang
sebelumnya belum pernah ku datangi ini.
Tempat yang bahkan tak
layak seorang gadis SMA datangi pada malam hari meski umur kami sudah 18 tahun.
“Orang yang akan kita temui ada di dalam, beliau sudah
menunggu kedatangan kita” celoteh nadia
sembari menunjuk pintu masuk yang dijaga oleh dua orang doormen berpakaian
hitam,
berkacamata hitam dan berbadan besar.
Tanpa
bertanya, si doormen
mempersilahkan kami masuk walau tanpa senyum sedikitpun. Serem amet si doormen ini pikirku. Apakah
mereka mendekati cewek yang mereka cintai dengan tampang seseram ini. Sudah
pasti si cewek langsung kabur. Karena muka seramnya si doormen persis raksasa
dalam cerita anak Timun Emas. Aku mulai ngelantur dan terkekeh di dalam hati. Di
dalam café, seorang pria kurus
tinggi dan berkumis tipis utusan Om Bob, orang yang ingin kami temui menghampiri
kami dan membawa kami ke sebuah ruangan tempat Om Bob menunggu. Kami pun memasuki sebuah ruangan yang tak begitu terang dan
berbau asap rokok bercampur minuman keras. Sungguh
membuat isi perutku mendadak hampir keluar. Terlihat seorang pria paruh baya berbadan sedikit gemuk dan
berkemaja dengan 3 kancing teratas sengaja dibiarkannya tak terkancing, dia duduk di sofa berwarna merah maroon sambil menghisap
sebatang rokok yang ukurannya tak seperti rokok yang biasanya aku
lihat di warung-warung.
Pria
yang di sapa Om Bob tersebut mempersilahkan kami duduk
sembari memberikan senyuman yang menurutnya manis tapi menurutku itu senyuman yang
paling menjijikkan yang pernah aku lihat. Entah mengapa aku seperti tidak menyukai
sosok yang kata Nadia ini memiliki banyak uang. Singkat cerita, dia menawarkan kami uang banyak
terkhusus untukku karna seperti yang aku lihat dari tadi matanya selalu saja
terfokus kearahku. Persisnya di area sensitive yang tak sepantasnya di lihat
oleh seorang pria selama itu. Dia ingin kami bekerja
kepadanya dan jika kami menerima tawarannya yang sukses membuat ku berkhayal
menjadi jutawan maka dia akan memastikan bahwa setiap harinya kami akan memperoleh uang
juta-an rupiah. Aku
seperti ingin berjoged ala Gangnam Style Mendengar uang sebegitu banyaknya yang
akan aku terima nantinya bila aku menerima tawaran dari Om Bob. That’s so WOW! Aku
segera menghentikan fantasi berlebihanku. “kerja apa?” tanyaku penasaran. “Melacur”, jawabnya
singkat
seakan tanpa dosa. Aku shock
mendengarnya. Sangat-sangat shock! Aku merasa terhempas ke dalam
jurang yang di penuhi zombie-zombie kelaparan. Hatiku
teriris, aku segera
menyatakan keberatanku dan memaksa Nadia untuk pulang dan meninggalkan tempat
maksiat itu. Ku lirik Nadia namun reaksi Nadia malah biasa saja. “Ikuti saja kata Om Bob, kamu sudah bosan hidup miskin kan?” ujar Nadia lancang dan membuatku berhasrat ingin
merobek-robek mulutnya. Aku
seakan tak percaya, teman macam apakah Nadia ini. Aku mulai mencurigai jangan-jangan Nadia sudah lama bekerja pada om
Bob dan sengaja ikut menyeretku kedalam dunia hitam dan
kelam ini.
Oh, My God. Aku
terjebak! Aku membuyarkan
lamunanku dan bergegas menuju pintu keluar. Tapi tiba-tiba seseorang
membekapkan sapu tangannya yang sudah di beri obat bius ke wajahku. Aku
berusaha memberontak, berusaha melepaskan sesuatu yang melekat
erat di wajahku dengan sekuat tenaga. Namun tetap saja aku kalah. Aku kehabisan energy. Tiba-tiba semua berubah menjadi hitam dan Gelap!
Aku membuka mata perlahan dan merasakan
sakit yg tak tertahankan di rahang kananku. Aku mendapati diriku sudah berada di sebuah ruangan bercat biru dalam kondisi
kaki dan tangan terikat. Aku panik! Aku berteriak sejadi-jadinya untuk meminta pertolongan. Tak ada jawaban, suasana tetap hening. Tak lama kemudian seseorang membuka pintu
ruangan tempat ku terduduk tak berdaya seorang diri, Samar-samar kulihat sosok di depan pintu itu
berjalan kearahku dan semakin jelas terlihat
olehku
bahwa itu merupakan sosok Nadia yang
sekarang tepat berdiri di hadapanku dengan menggunakan baju yang begitu sexy yang membuatku ingin
meludah tepat di wajahnya.
“Nad, aku mau pulang. Aku gak mau disini, tolong aku.” Kataku memelas dan tanpa sadar aku
menitikkan airmata yang kian lama kian deras. Devi. Devi. Bukannya kamu sendiri
yang tempo hari mengatakan kepadaku bahwa kamu tidak betah tinggal di rumah kamu yang persis kandang sapi itu. Kamu
juga kan yang
bilang sudah bosan hidup miskin. Sekarang ini lah saatnya kesempatan kamu untuk mengubah takdir kamu dari orang miskin
menjadi orang kaya dengan menerima penawaran dari Om Bob. Gampang kan? Kamu hanya perlu menjual wajah dan badan kamu maka
ratusan uang mengalir dengan sendirinya.” Ceramah nadia dengan tawa yang mulai
saat itu sangat ku benci. Meski
hatiku terluka dengan perkataannya, aku tak menyerah begitu saja untuk terus membujuknya untuk melepaskanku pergi. Namun
dia malah tertawa sejadi-jadinya dan membuat perasaanku
begitu remuk dan hancur melebihi seseorang yang lagi putus cinta. Aku menangis histeris dan mengutuk perbuatannya dalam
hati.
“Sekarang kamu pilih bekerja dengan Om Bob dan hidup kaya raya atau mati
konyol diruangan ini”?, Tanya nadia seraya memegang daguku cukup keras. Aku
tetap bersikukuh menolak, aku lebih baik mati daripada harus menjadi pelacur.
Aku lebih baik hidup miskin daripada menanggung dosa yang tidak ada habisnya. Tiba-tiba
Aku teringat orang tuaku, aku merindukan mereka. Ibu, maafkan aku. Aku menyesal tak mendengarkan nasehatmu
tadi. Ayah, maafkan anakmu yang sering mengeluh tentang kemiskinan keluarga
kita. Aku ingin pulang ibu, aku ingin pulang ayah. Aku berbisik pada hati
kecilku sambil menangis terisak. Tak lama kemudian, Nadia
memelukku bertepatan dengan sebuah
benda tajam menancap tepat di ulu hatiku. Darah mengalir deras, mataku
terbelalak, samar-samar ku lihat Nadia mengambil kembali pisau yang dia
tancapkan di ulu hatiku.
Aku meregang nyawa, terbayang wajah lelah ayah dan
Ibu, terbayang dosa-dosaku kepada mereka, terbayang tentang nikmat-nikmat Tuhan
yang tak pernah aku syukuri, mengapa aku baru menyadari setelah hidupku tersisa
tinggal beberapa detik lagi. Maafkan aku Ibu, Maafkan aku ayah, maafkan aku ya
Allah. Aku berusaha untuk menyebut nama Allah di sisa nafas yang ku punya.
Mulutku kaku, keringat mengucur deras, aku masih memegangi ulu hatiku yang
sakit bukan kepalang untuk menahan darah agar tak keluar lebih banyak lagi. Tak
ada lagi waktu untuk sekedar bertobat dan memperbaiki kesalahanku tempo hari.
Aku berusaha mengingat syahadat dan berusaha melafalkannya. Namun aku merasa
ada yang menahan lidahku untuk mengatakannya. Asy.. haa.. aku mencoba bersyahadat tapi
kerongkonganku tersekat, aku kesulitan berbicara di ujung tanduk kematianku. Aku
tak lantas menyerah bersama sisa sisa detik
kehidupan yang aku miliki. Aku mencoba melafalkan kembali kalimat
syahadat diikuti airmata dan keringat yang bercampur di wajahku. Asy..
haduanlaa.. ilaa… haa ilallah aku berusaha melafalkannya meski dengan suara
terbata-bata. Namun belum sempat
kalimat syahadat aku ucapkan secara sempurna. Nyawaku habis, aku mulai melemas,
Israfil telah datang memenuhi janji untuk menjemputku.
Aku menutup mata dalam
kesendirian, kesakitan dan
rasa bersalahku.
Hidupku berakhir bersama penyesalanku.
Hidupku berakhir bersama penyesalanku.
doorguard atau gatekeeper ya sis?
BalasHapusdoormen sih kalo yg ada di cerpen ku.
Hapustapi terserah persepsi kamu aja deh, yang penting tau kan maksudnya.. :)
Hidup adalah perbuatan.
BalasHapusCewek seperti apa yg bisa ngarang seperti ini?
BalasHapusKamu berbakat, good job!