expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

WELCOME

Terima Kasih Telah mengunjungi Blog Saya...
Semoga Bermanfaat... :-)

Add My Face book : Riesa Tirta Maladewi
Follow My Twitter : @RiesaTirta



Minggu, 16 Desember 2012

Cerpen : My First Love in Senior High School



Karya : Riesa Tirta Maladewi



           Jari telunjuk ku sibuk mencari-cari keberadaan namaku pada tiga lembar kertas hvs yang tertempel di mading Sekolah Menengah Atas yang terbilang favorit di kota ku. Telunjuk ku bergeser dari atas kebawah di ikuti mataku yang terus melotot naik turun menemukan sebaris nama ku yang berjejer diantara 250 nama anak manusia yang terketik dikertas yang hampir robek akibat tangan-tangan yang tak sabaran ingin melihat daftar nama yg berhasil lulus di SMA tersebut. Tak lama kemudian telunjuk ku berhenti tepat di urutan ke tiga. Yaa, itu tandanya aku berhasil lulus seleksi masuk ke sekolah tersebut menduduki peringkat ke tiga. Bangganya aku kala itu, lima detik kemudian temanku Wulan teriak kegirangan karna namanya berada di urutan ke lima. Kami pun bersorak kesenangan dan tiba-tiba berhenti sejenak ketika aku merasa ada yang mencolek pundakku.
“Mbak, udah kan lihat pengumumannya? geser dong.. kami juga mau lihat. Kalo mbak di depan terus kami jadi sulit untuk melihat nama kami.” Ujar perempuan berjilbab dan berkacamata yang mencolek ku tadi.
Eh.. iyaa.. iyaa. Maaf..” jawabku dengan cengengesan seraya menarik tangan Wulan untuk berpindah tempat dari kerumunan orang-orang tersebut. Saking senangnya kami tak menyadari ternyata di belakang kami masih banyak orang-orang yang berdesak-desakkan untuk maju ke depan supaya melihat lebih jelas kertas pengumuman tersebut.
Wah, ternyata banyak juga ya lan yang pengen masuk ke sekolah ini, kita beruntung bisa lulus bahkan dapet peringkat lima besar pula” kataku sembari melirik jam tangan yang menunjukkan pukul tiga sore. Selang beberapa detik kemudian ada yang mencolek pundakku lagi untuk ke-dua kalinya. Sontak bikin aku terkejut dan segera menoleh kebelakang. Ada seorang laki-laki yang berpenampilan acak-acakan dengan rambut agak gondrong terlihat memegang map kuning yang di dalamnya berisi tumpukan kertas.
“ Maaf mbak, ada pena gak? Boleh pinjem bentar?” kata laki-laki itu seperti terburu-buru ingin menulis sesuatu.
Ya ya. Ada. Bentar yaa” Jawabku sembari merogoh tas ku mencari kotak pensil yang berisikan beberapa pena dan pensil.
“Ini penanya” seru ku singkat sambil menjulurkan pena ke arahnya. Dia pun bergegas mengambil pena dari tanganku dan menulis sesuatu di kertas yang berada di dalam map yang di pegang nya sejak tadi.
“Ini mbak, makasih penanya. Eh, mbak daftar disini juga yah? Gimana? Lulus? Urutan ke berapa?” Tanya nya memborong yang terkesan membuat aku berfikir betapa SKSD nya lelaki yang memiliki satu jerawat di pipi kanannya ini.
“ Iyaa. Aku dan temanku daftar disini juga kebetulan lulus dan Alhamdulillah masuk urutan lima besar” Jawabku dengan memperlihatkan senyum yang terkesan dibuat-buat. Emm.. bukan terkesan sih, emang sengaja di buat-buat. Soalnya aku illfeel melihat lelaki ini karena penampilannya yang tidak rapi apalagi melihat rambutnya yang hampir menyerupai sangkar burung. Di tambah pertanyaan nya yang terkesan sedang mewawancarai tersangka maling ayam. Uh, bikin jengkel deh pokoknya. Tapi tentu saja aku tidak memperlihatkan ketidak senanganku pada nya untuk menjaga perasaannya dan menjaga nama baik ku pastinya.
Eh, mbak sudah daftar ulang belum? Daftar ulang nya disana. Bawa’ photo copy raport, ijazah, skhu dan Bla. Bla. Bla” dia terus saja menceracau seraya menunjuk sebuah ruangan yang tak jauh dari tempat ku berdiri.
Belum, besok aja deh kami kesini lagi. Kami kesini tadi gak bawa syarat-syarat daftar ulangnya, lagian kayak nya daftar ulang nya udah mau tutup deh. Sekarang udah hampir jam 4.” Kata ku sambil menunjukkan jam tangan yang aku kenakan ke arahnya. Ntah dia lihat atau tidak kemana arah jarum jam pada saat itu, peduli amat pikirku. Dia hanya mengangguk-angguk dan tak lama kemudian pamit untuk pergi. Aku dan Wulan hanya tersenyum lirih kearahnya.
Keesokkan harinya aku dan Wulan datang kembali ke calon sekolah baru kami untuk daftar ulang. Usai daftar ulang, kami pun melihat pengumuman tentang atribut apa saja yang digunakan untuk mengikuti MOS. Terlihat pengumuman MOS tertulis di sebuah karton warna pink dengan coretan spidol. Banyak sekali yang harus di persiapkan pikirku saat melihat poin-poin pengumuman yang tertempel di dinding ruangan berwarna cream itu.
“Hey, udah daftar ulangnya?” Nampak dari kejauhan ada sosok laki-laki si empunya suara menghampiri kami. Olala laki2 ini yang SKSD kemarin, nongol lagi ternyata. gerutuku dalam hati.
Iya, kami barusan selesai daftar ulang, ini lagi nyatat atribut MOS” Jawabku sambil menulis di buku catatanku dan sesekali melirik ke arahnya.
Wah, ada ya? Apa aja yg harus dibawa’? banyak yah?” Tanya si laki-laki yang lupa kutanyakan siapa namanya dan tak penting pikirku saat itu.
Itu kan ada semua noh ditulis di karton itu. Kamu catet aja lagi” Perintah wulan menimpali pertanyaan dari laki-laki yang langsung mengeluarkan buku dan pena untuk bersiap mencatat. Lelaki itu pun membalas dengan anggukkan dan senyuman namun tetap saja banyak pertanyaan-pertanyaan yang tidak penting dan tidak perlu kami jawab perihal atribut MOS. Toh semua sudah di jelasi lengkap di pengumuman tersebut. Kepo banget sih nih anak. Gerutu ku dalam hati. Oh my GOD..... Seperti inikah teman-temanku nanti disekolah baruku ini???
*****


            Ada yang menyodorkan sebotol air mineral di hadapanku saat aku baru saja selesai latihan paskibra. Haus memang saat itu ditambah cuaca yang memang terik. Namun aku tak lantas mengambilnya, aku amati sejenak air mineral y
ang di sodorkan oleh tangan berkulit sawo matang itu tepat di depan mukaku yang penuh dengan keringat. Aku mendongak ke atas untuk melihat siapa yang berbaik hati memberi ku sebotol air mineral, ku dapati sesosok pria yang tersenyum sumringah kearah muka-ku yg tak karuan bagaimana bentuknya pada saat itu. Laki-laki yang tampan kesan pertamaku melihat laki-laki ini. Aku hanya terdiam aneh melihat wajah nya yang seakan telah mengenalku cukup lama sementara aku tak tahu siapa dia. Berhubung rasa haus yang amat sangat aku pun lekas meraih sebotol air mineral yang ada ditangannya dan lantas meminumnya. dua teguk air membasahi kerongkonganku yang tandus.

            “Huhh..  Akhirnyaa rasa haus ku terobati, emm makasih yaa” Ujarku seraya menatap laki-laki yang tak ku ketahui namanya. Ntah lupa atau aku nya benar-benar gak tau.

            “Sama-sama. Kamu masih ingat aku?”
Responnya singkat namun mampu membuat ku salah tingkah. Waduh, celaka... pertanyaan yang ku takutkan akhirnya muncul juga.

            “
E..eh. eh.. Emang kamu siapa? Hehe tanyaku sambil cengengesan dengan muka yang dibikin sok manis. Sambil mengingat siapa gerangan lelaki yang mengenakan kaos hitam dan celana jeans ini.

            “Aku A
wan anak Sepuluh C” jawabnya dengan penuh antusias

            Usiaku sekitar 15 tahun pada waktu itu dan baru menginjak lima bulan pertama sebagai murid kelas satu
SMA. Sebagai murid baru wajar saja aku tak mengenal dia walaupun dia seangkatan denganku. Letak kelas nya berada di belakang kelasku, dan lima bulan pertama di sekolah hampir sebagian besar kuhabiskan didalam kelas untuk sekedar baca novel dan menulis puisi, hobi yg mulai ku geluti sejak SMP. Jadi sangat wajar jika aku tak mengenali sosok pria yang saat itu duduk di sampingku dan sesekali menatapku dengan pandangan yang mampu membuat hati ku bergetar.

            “
Oh, Awan yah? Thanks loh buat air nya. Betewe ngapain kamu disini? Ikut paskib juga? Kok gak pake’ baju latihan” Cerca ku dengan rentetan pertanyaan biar terkesan akrab tapi malah terkesan sok akrab.

            “
Gak kok, aku pengen liat kamu latihan aja sekalian bisa kenal akrab sama kamu” ucapnya sambil tersenyum manis.

            “
Alaaah kamu bisa aja” Ucapku singkat supaya gak terkesan salting. Padahal.. beeuhh... deg-deg-an aku di buatnya.. Pengen teriak kegirangan tapi bukan Fita namanya kalo gak bisa masang muka stay cool dihadapan cowok. Aku membalas senyumnya dengan senyuman semanis mungkin ala miss Indonesia yang baru kepergok maling jemuran.
Lho?
Emang ada?

            Sejak kapan aku mulai di gombalin cowok cakep pikirku waktu itu. Baru saja ingin berkhayal ria sang pelatih paskibra menyuruh aku beserta anggota paskibra lainnya berbaris lagi di lapangan sekolah di tengah teriknya matahari yang terasa menembus epidermis kulitku.

            “Eh, aku latihan dulu yah
wan...Seruku sampil menepuk ringan pundaknya.
            “iyaa, ta.. jangan terlalu capek yah, ntar pingsan lho”
Teriak nya ketika aku bergegas meninggalkannya duduk sendirian menuju lapangan. Aku hanya mengacungkan jari jempolku dan kali ini tersenyum layak nya anggota DPR yang koruspi tapi gag ketahuan publik. Lho koq?

            Siap gerak, luruskan, Jalan tempat, hadap kiri, hadap kanan, balik kanan..
 yah itu lah aba-aba yang di teriakkan lantang oleh pelatih paskibra ku yang serentak aku dan teman-teman ikuti dengan nyawa setengah melayang. Uhh.. capek juga fikirku ikut ekstrakurikuler yang satu ini. Perlu diketahui sekolah ku mewajibkan muridnya untuk mengikuti ekstrakulikuler apapun di sekolah. Minimal satu ekskul. Berhubung temen-temenku banyak yang ikutan ekskul yang menguras tenaga ini. Aku pun iseng ikut-ikutan jugaa, yah.. nambah pengalaman lah pikirku.

            “
Fitaaa, khusus untk Fita karena kakak lihat dia sering melamun, gerakkannya salah terus. Langkah tegap maju jalan.” Teriak kakak pelatih itu yang kayaknya sengaja mempermalukanku.

           
Ettdahh aku tersentakk. Kenapa aku sih? Padahal yang lain kan juga banyak yang salah gerakannya. Kok cuma aku yang diberi aba-aba seperti itu?” gerutuku kesal dalam hati seraya tetap berjalan mengikuti aba-aba yang di perintahkan pelatih bertubuh tinggi tegap itu.

            “Henti gerak!”
Aba-aba darinya mengharuskan ku untuk berhenti di tengah lapangan persisnya tepat di depan tiang bendera. Gilaa.. panassnyaa semriwing deh pokoknyaa..

            “Balik kanan gerak!” Aba-aba dari pelatih membuyarkan pikiranku yang hampir melamun lagi untuk ke sekian kalinya.

           
Taarrraaa... ketika aku membalikkan badanku.. kudapati sosok pria yg dengan senyum khas nya berdiri cool tepat dihadapanku. Aku tak dapat menyembunyikan rasa kaget ku. Ku lirik pelatihku namun dia hanya tersenyum di iringi sorakkan dan siulan dari teman-temanku. Hmm... Nampaknya terjadi persengkokolan antara pelatih paskibraku dengan laki-laki yang berdiri tepat dihadapanku ini.

            “
Hah? Kamu ngapain berdiri disini?” celetuk ku dengan agak sedikit jutek mungkin kebawa kesal gara-gara hanya aku dari 35 orang yang ikut latihan pada siang itu yg harus berdiri di tengah-tengah lapangan ditemani matahari yang seakan gak mau pisah dari tempatku berdiri.
Setalah hening selama 30 detik, Awan pun menjawab...
            “
Aa a ku Cuma mau bilang kalo E ee.. ee.. aa..aa..kuu.. Aakuu ssukaa sama kamu taa, kamu mau gag jadi pacar aku?
             JEGERR..  Mataku terbelalak dan mulutku tak mampu berbicara diikuti jantung yang berdegup kencang, keringat menyucur deras, dan mulutku susah sekali untuk mengeluarkan suara. Sumpah
, aku kaget banget mendengar ucapannya yang terkesan to the point itu. Mendengar pernyataan cinta tersebut kontan saja teman-temanku yang tadinya berbaris rapi kini berpencar membentuk huruf O melingkar menyisakan ruang ditengah-tengahnya yang hanya ada aku dan Awan. Bahkan kakak-kakak kelas ku yang kebetulan lagi istirahat dari les di luar jam sekolah pun turut beramai-ramai menyaksikan sweet tragedy yang tak pernah aku duga-duga sebelumnya. Yaa Tuhan.. Ini apa coba? Aku kan belum kenal siapa orang ini? Kok dia langsung nembak aku sih? Aku harus bilang apa? Ceracau ku dalam hati dan perlahan mengepalkan tanganku yang mulai terasa dingin dan kaku karna nerveous minta’ ampun.

            “Gimana taa, kamu mau ga
k jadi pacar aku? Aku sayang sama kamu. Terima aku yaa? Please?” ucap Awan dengan raut wajah yang serius seraya meraih kedua tanganku yang berhasil beku pada kala itu. Aku pun melepaskan genggaman tangannya dan mundur perlahan dua langkah dari hadapannya. Haduh.. harus jawab apa coba? Masa aku jadian sama orang yang baru aku kenal barusan? Gag asik dong. Bisikku dalam hati sambil memasang tampang seperti orang yang sedang berfikir.

            “
Ee..eeh.. gimana yaa wan, jujur aku belum mengenal kamu lebih dekat. Dan aku rasa kamu pun juga begitu. Kok kamu bisa suka sih sama aku? Kok tiba-tiba kamu harus senekat ini?” Kataku seraya melihat mukanya yang dipasang setengah memohon. Persis kayag adek aku sewaktu merengek minta di beli’in permen.

            “Aku udah lama merhati’in kamu bahkan sebelum
kita resmi masuk di sekolah ini. Kamu inget cowok yang minjem pena sewaktu kamu mendaftarkan diri ke sekolah ini? Kamu inget cowok yg banyak tanya perihal atribus mos yang harus dikenakan padahal di mading udah ada pengumumannya? Kamu inget cowok itu taa?” Tegasnya dengan semangat ’45 persis pahlawan revolusi.
Itu akuu, aku sengaja minjem pena dan nanya2 gag jelas semata-mata untuk deket dan mengambil perhatian kamu. Sampai dirumah aku kepikiran kamu terus, kamu manis dan kamu baik pikirku. Aku pengen jadi orang special di hati kamu? Please tha?” Sambung Awan penuh penghayatan dan membuat aku yang melihatnya terharu bercampur iba.

            Busyet deh... Aku hanya mampu menelan ludah mendengar kata-kata yang tak kusangka langsung merubah suhu tubuhku menjadi panas dingin tak karuan.
Aku melihat di sekelilingku yang sedari tadi mengucapkan kata “terima” dengan penuh suka cita. Aku benar-benar bingung pada waktu itu, aku gak nyangka bahwa pria tampan ini adalah pria yg aku anggap SKSD ”sok kenal sok dekat” pada waktu pendaftran sekolah. Pangling aku dibuatnya. Dia berubah 180 derajat sejak pertama kali aku melihatnya.
Dia telah berubah nampaknya dari segi penampilan, pantas saja aku hampir tak mengenalinya meski dalam hati berujar seperti pernah melihatnya tapi dimana?
Pertanyaanku terjawab sudah. Dia orang SKSD itu. Tapi dulu gaya nya sangat cupu sekali, persis orang desa masuk kota. Tapi sekarang, dengan gayanya dari ujung kaki sampai ujung rambut dia bahkan bisa mendapatkan 5 wanita yang jauh lebih baik dari ku.
Waktu itu aku bukanlah wanita yang senang memperhatikan penampilan. Bahkan aku ke sekolah pun tanpa bedak yg menempel. Penampilanku biasa-biasa saja . Aku tak bisa dibilang cantik pada waktu itu meski terkadang sayup-sayup ku dengar ada yakg memuji senyum manisku. Caa ilee...
Haah? Apa hanya dengan bermodal senyum aku mampu mengetarkan hati pria yg berdiri harap-harap cemas tepat dua langkah di hadapanku. Lagi-lagi aku di selimuti kebimbangan. Aku takut dia hanya mempermainkanku. Aku menoleh kearah teman karibku, Wulan. Dia mengangguk memberi pertanda bahwa dia setuju. Ah, ingin sekali aku berkata tidak. Namun melihat raut muka Awan yang begitu berharap dan mendengar teriakan “terima” dari teman-teman sekelilingku aku pun luluh juga, aku tak ingin mengecewakan mereka dan akhirnya...

            “
Yaa, aku mau jadi pacar kamu. Tapi kamu janji kan gak mainin perasaan aku?Tanyaku dengan sorotan mata yang tajam seperti baru saja memergoki maling sandal di masjid.

            “
Pasti ta, Aku gak bakal ngecewa’in kamu. Aku sayang kamu. Makasih ya ta udah nerima aku. Jadi, mulai sekarang kita pacaran kan?” Ucapnya penuh semangat dengan raut muka yang begitu bahagia. Aku pun hanya tersenyum dan mengangguk merespon positif semua perkataan nya yang menunjukkan rasa senang yang amat sangat.
Tuhan. Inikah sosok malaikat yang Engkau kirimkan untuk menjaga ku disekolah baru ini? Aku hanya bisa bernafas lega dan berkata dalam hati. Awan, Aku telah memilihmu menjadi laki-laki pertama yang menjadi pacarku di sekolah baru ini. Aku harap kamu gak ngecewa’in aku. Dan aku akan belajar mencintaimu dan menjadi yang terbaik untukmu. Aku harap kamu menjadi salah satu alasan bagiku untuk semangat belajar dan mengejar prestasi di sekolah ini dan aku pun akan selalu berusaha menjadi seseorang yang berarti di hidupmu untuk ke depannya. Aamiin..
*****


Cerpen : Pilihan Hidup atau Mati


       Karya : Riesa Tirta Maladewi


       Andai saja aku bisa memilih dari keluarga mana aku akan dilahirkan dan dibesarkan, mungkin aku tak akan memilih terlahir di dalam keluarga ini. Keluarga miskin yang makan saja hampir sekali dalam sehari. Sungguh membuatku tersiksa. Belum lagi pekerjaan ayah sebagai kuli bangunan dan Ibu sebagai PSK (baca: Penjual Sayur Keliling) membuatku enggan dan malu mengakui mereka sebagai orangtua-ku. Pernah suatu kali, ketika ibu lewat di depan sekolahku lengkap dengan gerobak yang berisi sayur-sayur dagangannya, aku pura-pura tidak melihat dan tak jarang aku pura-pura tidak mengenalinya semata-mata menjaga harga diriku di hadapan teman-teman sekolahku. Aku takut mereka mencemoohkanku, hanya karena kemiskinan yang orang tuaku tularkan kepadaku. Ah, membayangkannya saja membuatku ingin menangis.



Tak peduli di cap anak durhaka atau tidak, yang jelas aku malu mengakuinya sebagai ibuku dan aku sangat menyesal terlahir dari rahim seorang wanita miskin yang bahkan jarang memberiku uang jajan sebagaimana layaknya para orang tua memberikan uang jajan kepada anaknya. Mereka, teman-temanku selalu diberi uang jajan oleh orangtua nya sebelum berangkat sekolah, bahkan uang jajannya dalam sehari pun mampu membeli sepatu baru yang biasanya harus ku beli setelah menabung setengah tahun lamanya. Sungguh memuakkan menerima kenyataan pahit ini. Menjadi seorang anak yang terlahir dari keluarga miskin membuat ku minder secara tidak langsung. Pernah suatu hari teman ku mengajak ku pergi berbelanja sepulang sekolah dan saat itu juga aku mendadak pura-pura sakit dan memilih pulang saja daripada harus ikut bareng mereka. Gilaaa… Aku belanja pake’ apa coba? Seribu perak pun bahkan aku tak punya. Ketika beberapa temanku mengeluhkan dompetnya menipis, aku malah tak punya dompet sama sekali. Jikalau pun aku punya dompet. Buat apa coba? Akan ku isi dengan apakah? Mungkin jika terpaksa, daun jambu di depan rumah lah jawabannya.


Mungkin aku memang terlahir sebagai Devi, si anak miskin yang kerjaannya ngeluh sepanjang hari. Mungkin jumlah keluhanku sudah menyamai jumlah korupsi yang ada di Indonesia. Hah? Sebegitu parahkah?. Bayangkan saja ketika anak orang lain di jemput menggunakan motor atau mobil mewah dan pulangnya langsung ditawari makan dengan berbagai macam menu yang sedap-sedap sehingga membuat si anak tercukupi gizinya . Sedangkan aku malah sebaliknya, pulang  jalan kaki sendirian ke rumah serba minimalis, berdinding papan milik orang tuaku yang jaraknya kurang lebih 300 meter dan tiba dirumah dalam keadaan sepi tak berpenghuni. Tak perlu mengucapkan salam pikirku, toh tak ada orang di rumah. Selepas melemparkan tas ke kasur reot ku, aku bergegas ke dapur, tak tahan karena cacing-cacing di perut sudah berdemo minta di isi. Ketika tudung saji dari anyaman bambu yang sudah bolong-bolong itu ku buka. Ajaib… tak ada makanan disana. Aku menganga lebar dengan mata yang nyaris hampir keluar dari habitatnya. Alhasil aku kelaparan total, berharap aku langsung mati saja detik itu juga. Berhubung cacing diperutku sudah saling tinju, saling tindih, bahkan saling memakan satu sama lain saking kelaparannya. Aku memutuskan mencari sesuatu di dapur yang bisa aku masak untuk aku makan. Entah karena Malaikat Israfil belum mau mencabut nyawaku atau memang karena Tuhan kasihan padaku, aku menemukan sebutir telur teronggok indah di dalam lemari kayu tempat Ibu biasanya menyimpan sayur-sayur dagangannya. Hari ini aku tak jadi mati, kehidupanku masih berlanjut, perjalananku menuju neraka dibatalkan dan nyawaku tertolong gumamku dalam hati.


Setelah makan dengan lahapnya, aku ketiduran dan baru bangun setelah adzan maghrib berkumandang. Aku melihat hape Nokia senter ku yang keypad nya sudah tak jelas seperti apa bentuknya. Ada SMS masuk dari teman sekelas ku Nadia yang mengajakku pergi. Tak jelas kemana dia akan mengajakku pergi karena memang dia tidak memberitahukannya lewat pesan singkat yang dia kirimkan. Yang jelas aku mengiyakan ajakannya karena memang merasa tak betah berlama-lama di “gubuk” yang sebenarnya lebih pantas di sebut kandang sapi ini. Aku menyuruhnya menjemputku setelah adzan isya’. Aku bergegas mandi dan mempersiapkan diriku untuk pergi. Assalamu’alaikum… Terdengar suara ibu dari luar. Aku membuka pintu dan melihat ibu tengah membereskan sisa sayur dagangannya untuk di bawa masuk kedalam rumah. “Bisa bantu ibu mengangkat plastik itu, nak”? pinta ibuku dengan suara lelah seraya menujuk plastik hitam berisi beberapa kol dan timun. Aku pura-pura tidak mendengar dan bergegas masuk ke kamar untuk menyelesaikan dandananku. Malas banget pikirku, biar Ibu tau rasa siapa suruh meninggalkan rumah dan membiarkanku kelaparan seorang diri tanpa makanan yang membuatku nyaris mati konyol. Tak lama kemudian aku mendengar suara ayah, aku mengintip dari balik gorden kamarku, terlihat ayah sedang membantu ibu. Aku tak memperdulikan mereka dan kembali berdandan, mempercantik diri agar tak kelihatan muka miskinnya. Drrtt… hape ku bergetar dan kulihat sms masuk dari nadia. “keluarlah, aku di depan rumahmu, ayok kita pergi”. Aku bergegas keluar kamar dan mencari Ibu untuk meminta uang. Namun bukannya lekas dikasih uang, Ibu malah menanyai dan menceramahi ku panjang kali lebar kali tinggi yang intinya melarangku untuk pergi. Pusing mendengarkan ocehan ibu yang tak kunjung memberiku uang, aku pun meninggalkannya begitu saja dan pergi keluar rumah tanpa uang sepeserpun dan tanpa salam tentunya.


Aku mendatangi Nadia yang tengah menungguku didalam mobil jazz putihnya. Dia kelihatan cantik dengan menggunakan gaun malam sepadan dengan warna mobil nya. Aku kenal Nadia tak begitu lama walaupun kami sudah sekelas selama 2 tahun. Kami mulai akrab semenjak Nadia tahu kemiskinan yang setiap harinya menyita sebagian besar ketentraman hatiku. Setahu ku Nadia dulunya tak sekaya ini. Aku tak melanjutkan berpikir telalu jauh tentang Nadia karna bisa mempunyai teman kaya dan tidak sombong seperti Nadia saja aku sudah sangat bersyukur. Barangkali saja kekayaannya bisa menular kepadaku. Aku menahan senyum kecut, sadar bahwa itu cuma mimpi dan angan-angan seorang anak orang miskin yang mustahil terjadi. Mobil melaju kencang melewati Pantai Panjang, pantai yang cukup terkenal di kota kelahiranku, Bengkulu, Pantai nan indah lengkap dengan pemandangan yang selalu di elu-elukan masyarakat Bengkulu pada umumnya. Wah… rame sekali pantai malam ini. Wajar saja, aku lupa bahwasanya malam ini adalah malam minggu dan sudah sangat biasa jika setiap malam minggu pantai selalu penuh dengan pemuda-pemudi yang sekedar berkonvoi ria, pacaran sambil menikmati keindahan suasana pantai di malam hari atau sekedar refreshing melepas penat setelah seharian beraktivitas. “kita mau kemana nad”? tanyaku sedikit berteriak tak mau kalah suara dengan radio tape mobil nadia yang tengah memutar lagu California milik Katy Perry dengan volume yang nyaris membuat gendang telinga ku serasa mau pecah. Kita mau ketemu seseorang yang bisa membuat kamu kaya dalam hitungan menit”. Jawab Nadia sambil tersenyum ke arahku. “Oh yaa”? Reaksi ku dengan mata sedikit membesar seakan tak percaya dengan apa yang aku dengar barusan. “iya dong” jawab nadia singkat seraya membelokkan mobilnya ke sebuah cafĂ© yang cukup terkenal di kawasan Pantai Panjang.


Mobil Nadia berhenti di depan cafĂ© Pelangi, cafĂ© yang cukup besar dan dihiasi lampu kerlap-kerlip di setiap sudut bangunannya. Aku turun dari mobil dan terperangah memasang tampang bego’ sekaligus bertanya-tanya dalam hati mengapa Nadia memberhentikan mobilnya di tempat yang sebelumnya belum pernah ku datangi ini. Tempat yang bahkan tak layak seorang gadis SMA datangi pada malam hari meski umur kami sudah 18 tahun. “Orang yang akan kita temui ada di dalam, beliau sudah menunggu kedatangan kita”  celoteh nadia sembari menunjuk pintu masuk yang dijaga oleh dua orang doormen berpakaian hitam, berkacamata hitam dan berbadan besar. 


Tanpa bertanya, si doormen mempersilahkan kami masuk walau tanpa senyum sedikitpun. Serem amet si doormen ini pikirku. Apakah mereka mendekati cewek yang mereka cintai dengan tampang seseram ini. Sudah pasti si cewek langsung kabur. Karena muka seramnya si doormen persis raksasa dalam cerita anak Timun Emas. Aku mulai ngelantur dan terkekeh di dalam hati. Di dalam cafĂ©, seorang pria kurus tinggi dan berkumis tipis utusan Om Bob, orang yang ingin kami temui menghampiri kami dan membawa kami ke sebuah ruangan tempat Om Bob menunggu. Kami pun memasuki sebuah ruangan yang tak begitu terang dan berbau asap rokok bercampur minuman keras. Sungguh membuat isi perutku mendadak hampir keluar. Terlihat seorang pria paruh baya berbadan sedikit gemuk dan berkemaja dengan 3 kancing teratas sengaja dibiarkannya tak terkancing, dia duduk di sofa berwarna merah maroon sambil menghisap sebatang rokok yang ukurannya tak seperti rokok yang biasanya aku lihat di warung-warung. 


Pria yang di sapa Om Bob tersebut mempersilahkan kami duduk sembari memberikan senyuman yang menurutnya manis tapi menurutku itu senyuman yang paling  menjijikkan yang pernah aku lihat. Entah mengapa aku seperti tidak menyukai sosok yang kata Nadia ini memiliki banyak uang. Singkat cerita, dia menawarkan kami uang banyak terkhusus untukku karna seperti yang aku lihat dari tadi matanya selalu saja terfokus kearahku. Persisnya di area sensitive yang tak sepantasnya di lihat oleh seorang pria selama itu.  Dia ingin kami bekerja kepadanya dan jika kami menerima tawarannya yang sukses membuat ku berkhayal menjadi jutawan maka dia akan memastikan bahwa setiap harinya kami akan memperoleh uang juta-an rupiah. Aku seperti ingin berjoged ala Gangnam Style Mendengar uang sebegitu banyaknya yang akan aku terima nantinya bila aku menerima tawaran dari Om Bob. That’s so WOW! Aku segera menghentikan fantasi berlebihanku. “kerja apa?” tanyaku penasaran. “Melacur”, jawabnya singkat seakan tanpa dosa. Aku shock mendengarnya. Sangat-sangat shock! Aku merasa terhempas ke dalam jurang yang di penuhi zombie-zombie kelaparan. Hatiku teriris, aku segera menyatakan keberatanku dan memaksa Nadia untuk pulang dan meninggalkan tempat maksiat itu. Ku lirik Nadia namun reaksi Nadia malah biasa saja. “Ikuti saja kata Om Bob, kamu sudah bosan hidup miskin kan?” ujar Nadia lancang dan membuatku berhasrat ingin merobek-robek mulutnya. Aku seakan tak percaya, teman macam apakah Nadia ini. Aku mulai mencurigai jangan-jangan Nadia sudah lama bekerja pada om Bob dan sengaja ikut menyeretku kedalam dunia hitam dan kelam ini. 


Oh, My God. Aku terjebak! Aku membuyarkan lamunanku dan bergegas menuju pintu keluar. Tapi tiba-tiba seseorang membekapkan sapu tangannya yang sudah di beri obat bius ke wajahku. Aku berusaha memberontak, berusaha melepaskan sesuatu yang melekat erat di wajahku dengan sekuat tenaga. Namun tetap saja aku kalah. Aku kehabisan energy. Tiba-tiba semua berubah menjadi hitam dan Gelap!

Aku membuka mata perlahan dan merasakan sakit yg tak tertahankan di rahang kananku. Aku mendapati diriku sudah berada di sebuah ruangan bercat biru dalam kondisi kaki dan tangan terikat. Aku panik! Aku berteriak sejadi-jadinya untuk meminta pertolongan. Tak ada jawaban, suasana tetap hening. Tak lama kemudian seseorang membuka pintu ruangan tempat ku terduduk tak berdaya seorang diri, Samar-samar kulihat sosok di depan pintu itu berjalan kearahku dan semakin jelas terlihat olehku bahwa itu merupakan sosok Nadia yang sekarang tepat berdiri di hadapanku dengan menggunakan baju yang begitu sexy yang membuatku ingin meludah tepat di wajahnya


“Nad, aku mau pulang. Aku gak mau disini, tolong aku.” Kataku memelas dan tanpa sadar aku menitikkan airmata yang kian lama kian deras. Devi. Devi. Bukannya kamu sendiri yang tempo hari mengatakan kepadaku bahwa kamu tidak betah tinggal di rumah kamu yang persis kandang sapi itu. Kamu juga kan yang bilang sudah bosan hidup miskin. Sekarang ini lah saatnya kesempatan kamu untuk mengubah takdir kamu dari orang miskin menjadi orang kaya dengan menerima penawaran dari Om Bob. Gampang kan? Kamu hanya perlu menjual wajah dan badan kamu maka ratusan uang mengalir dengan sendirinya.” Ceramah nadia dengan tawa yang mulai saat itu sangat ku benci. Meski hatiku terluka dengan perkataannya, aku tak menyerah begitu saja untuk terus membujuknya untuk melepaskanku pergi. Namun dia malah tertawa sejadi-jadinya dan membuat perasaanku begitu remuk dan hancur melebihi seseorang yang lagi putus cinta. Aku menangis histeris dan mengutuk perbuatannya dalam hati.


 “Sekarang kamu pilih bekerja dengan Om Bob dan hidup kaya raya atau mati konyol diruangan ini”?, Tanya nadia seraya memegang daguku cukup keras. Aku tetap bersikukuh menolak, aku lebih baik mati daripada harus menjadi pelacur. Aku lebih baik hidup miskin daripada menanggung dosa yang tidak ada habisnya. Tiba-tiba Aku teringat orang tuaku, aku merindukan mereka. Ibu, maafkan aku. Aku menyesal tak mendengarkan nasehatmu tadi. Ayah, maafkan anakmu yang sering mengeluh tentang kemiskinan keluarga kita. Aku ingin pulang ibu, aku ingin pulang ayah. Aku berbisik pada hati kecilku sambil menangis terisak. Tak lama kemudian, Nadia memelukku bertepatan dengan sebuah benda tajam menancap tepat di ulu hatiku. Darah mengalir deras, mataku terbelalak, samar-samar ku lihat Nadia mengambil kembali pisau yang dia tancapkan di ulu hatiku. 


Aku meregang nyawa, terbayang wajah lelah ayah dan Ibu, terbayang dosa-dosaku kepada mereka, terbayang tentang nikmat-nikmat Tuhan yang tak pernah aku syukuri, mengapa aku baru menyadari setelah hidupku tersisa tinggal beberapa detik lagi. Maafkan aku Ibu, Maafkan aku ayah, maafkan aku ya Allah. Aku berusaha untuk menyebut nama Allah di sisa nafas yang ku punya. Mulutku kaku, keringat mengucur deras, aku masih memegangi ulu hatiku yang sakit bukan kepalang untuk menahan darah agar tak keluar lebih banyak lagi. Tak ada lagi waktu untuk sekedar bertobat dan memperbaiki kesalahanku tempo hari. Aku berusaha mengingat syahadat dan berusaha melafalkannya. Namun aku merasa ada yang menahan lidahku untuk mengatakannya. Asy.. haa.. aku mencoba bersyahadat tapi kerongkonganku tersekat, aku kesulitan berbicara di ujung tanduk kematianku. Aku tak lantas menyerah bersama sisa sisa detik  kehidupan yang aku miliki. Aku mencoba melafalkan kembali kalimat syahadat diikuti airmata dan keringat yang bercampur di wajahku. Asy.. haduanlaa.. ilaa… haa ilallah aku berusaha melafalkannya meski dengan suara terbata-bata. Namun belum sempat kalimat syahadat aku ucapkan secara sempurna. Nyawaku habis, aku mulai melemas, Israfil telah datang memenuhi janji untuk menjemputku.

 Aku menutup mata dalam kesendirian, kesakitan dan rasa bersalahku.
Hidupku berakhir
bersama penyesalanku.